Menembus Batas Normal Perempuan – Cerpen
- frasakita72
- Aug 2, 2022
- 6 min read
Updated: Aug 3, 2024
Ini semua turun temurun, aku tidak bisa menyalahkan orang tua dan lingkunganku. Kata tanteku, perempuan lebih baik hidup di dapur, mengurus rumah dan menyambut suami. Aku sempat berpikir itu normal dan wajar seperti itu. Aku Dinda, usiaku saat ini sudah menginjak 16 Tahun, kehidupanku saat ini masih di bawah tangan orang tuaku. Aku tidak bisa apa-apa, semua ekspresi terhalang larangan-larangan orang tuaku. Aku yakin orang tuaku seperti itu karena kasih sayang kepada anaknya. Namun menurutku caranya salah. Aku tidak yakin orang tua lainnya apakah sama seperti orang tuaku, yang apa-apa selalu membatasi hingga leherku tercekik karena terlalu ketatnya larangan orang tuaku.
Membantah dan memberikan suara pikiran liarku pun tidak bisa.
Orang tuaku selalu berkata “Kamu tahu apa, ibu lebih berpengalaman. Jadi ya nurut aja kata ibu”
Ujungnya keresahanku ini ditumpahkan kepada teman-temanku. Hidupku bagaikan bernafas dalam air. Tangisku tak terlihat, suaraku terbekap, memang berat tuk dijalani. Namun jika terus bergerak akan mencapai tujuanku, yaitu ruang kebebasan. Aku pernah mendengar kata-kata motivasi “ Usaha tidak akan menghianati hasil”. Aku selalu ingat kata-kata itu.
Sebenarnya aku satu tahun lagi lulus, aku saat ini kelas 11 SMA. Aku tentu ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, yaitu kuliah. Aku ingin menjadi Wanita karir, Bekerja di perkantoran. Itu impianku. Aku tidak ingin berdiam diri di rumah menunggu suami. Aku ingin menunjukan bahwa perempuan juga bisa sukses.
Ibuku pernah berkata “ Kamu harus cepat-cepat mencari laki-laki untuk dijadikan suami kamu, kalau kelamaan nanti ibu malu kamu jadi perawan tua”. Sembari menyetrika pakaian yang sehabis di angkat dari tempat jemuran. Ibuku berkata seperti itu disaat aku lagi membaca buku raport sekolahan di ruang tengah. Mengapa ibuku berkata seperti itu, padahal sudah beda zaman dan generasi yang berbeda. Tentu perasaanku sangat kesal, tetapi tetap terus ku baca. Aku terus membaca dengan tangan gemeteran dan nafas berubah menjadi cepat. Aku menjawab hanya dengan mengiyakan saja
“iya bu” dengan helaan nafas yang dalam.
Aku dari dua tahun lalu sudah menabung secara diam-diam untuk biaya kuliah. Aku dapatkan dari menyisihkan uang jajan dan dari uang hasil jasa mencuci pakaian orang-orang. Ibuku membuka jasa cuci pakaian di rumahnya. Aku sesekali membantu ibuku selepas dari pulang Sekolah. Aku tidak tahu tabunganku saat ini sudah terkumpul berapa, karena aku tidak menentu jumlah uang yang aku masukkan dalam celengan ayamku, kadang Rp10.000,00, kadang Rp5.000,00.
***
Waktunya sudah malam, aku pergi menuju kamar dan menutup pintunya. Aku berdoa pada tuhan untuk keselamatan saat tidur. Setelah berdoa aku baringkan tubuhku pada Kasur yang tidak memiliki kolong. Esoknya aku terbangun dipagi hari, di iringi suara ayam berkokok milik tetangga. Setelah mandi dan semuanya beres, aku pamit mencium tangan ibuku. Aku mengambil sepeda disamping rumah yang biasa aku pakai pulang pergi kemanapun itu. Aku kayuh sepeda ini menuju sekolahan, rantainya seringkali terlepas dari roda geriginya, itu membuatku repot. Setelah kupasangkan Kembali, aku naiki sepeda dan ku kayuh menuju sekolahan. Jarak Sekolahan dari rumahku lumayan jauh, kurang lebih 14 KM.
kebetulan saat ini sedang ada acara kenaikan kelas selepas ujian. Menurutku acaranya sangat meriah di tengah lapangan sekolahan, aku sedang mengobrol Bersama temanku Tina duduk Bersama bersebelahan dilapangan. Tiba-tiba namaku disebutkan oleh pembaca acara. Aku berjalan menuju panggung, aku bersalaman dengan guru-guru yang ada di atas panggung. Lalu aku diberikan sertifikat bertuliskan juara tiga, tentu aku sangat senang dan bersyukur atas Raihan yang didapat saat ini.
Kehidupanku berulang-ulang setiap harinya, sangat-sangat membosankan. Mencuci, mengerjakan tugas, makan, salat, Sekolah, lalu pulang. Begitu tiap harinya. Setelah satu tahun kemudian, hari kelulusan sudah tiba. Aku sudah tidak sabar kabur dari rumah. Aku ingin pergi jauh untuk menggapai kesuksesan dengan jalanku sendiri. Saat di rumah dan menerima surat darin Sekolah dengan bertuliskan “LULUS”, aku terharu, tapi tidak dengan ibuku. Ekspresi ibuku sangat biasanya saja, setelah membaca tulisan tersebut.
Pada tiba malam hari, keluargaku sudah tertidur semua. Ini kesempatanku kabur dari rumah. Aku sudah merapikan dan menyiapkan pakaian dan kebutuhanku jauh-jauh hari. Aku keluar rumah melalui pintu belakang rumah. Aku inginnya keluar melalui jendela kamar, namun tidak muat untuk tubuhku. Aku membuka pintu kamarku secara perlahan, ada sedikit bunyi di akhir
“ngiiikkk”
Detak jantungku semakin berdebar, aku segera menuju pintu belakang, tepatnya di dapur. Saat melangkah secara pelan, suara wajan yang bersender di tempat peralatan masak, terdengar keras, jatuh oleh ulah tikus hitam besar tersebut. Aku secara cepat lari terburu-buru keluar melewati pintu terakhir. Aku berlari secepat mungkin, bergegas mencari tumpangan. Setelah beberapa jauh kilometer dari rumah, akhirnya aku mendapatkan tumpangan mobil pickup. Aku berkata, “tidak tahu pak” setelah ditanyai oleh supir “Mau kemana teh?” ucapnya di dalam mobil. Aku duduk Bersama pak supir Bernama Pak Tatang. Setelah berbincang-bincang cukup lama, ternyata dia dari bogor menuju Jakarta mengantarkan Cabai yang berada di belakang kami.
Aku sudah sampai di jakarta pagi hari, lalu diturunkan entah dimana daerahnya. Cukup kumuh disini. Aku berjalan mencari tempat tinggal. Aku temukan berbelok masuk gang, dan menyewanya pada pemiliknya. Di tempat ini aku segera merapikan pakaian dan menaruh barang-barangku di sisi tembok. Tempat tinggal ini kira-kira hanya berukuran 3×3, ditambah satu kamar mandi dipojok. Aku beristirahat, tidurku berasalaskan kain tipis, untuk penyanggah kepalanya hanya sebuah tas.
Waktu sore hari, aku keluar kamar untuk mencari makanan, pakaianku saat ini masih belum ganti pakaian dari kemarin saat aku kabur dari rumah, yaitu kaos berwarna putih, dan celana jeans.
Pada esok harinya aku daftar kuliah, setelah seleksi lalu ternyata aku dinyatakan lulus. Aku sujud syukur di kamar, setelah mendengar kabar baik tersebut. Aku tinggal menunggu jadwal kuliah tiba. Selepas satu bulan berlalu. Saatnya masuk kuliah, aku berangkat menaiki kendaraan umum menuju tempat kuliah. Aku berdiam diri sesaat di depan kampus, aku terheran-heran, Gedung kampusnya sangat megah dan besar.
Setelah bertahun-tahun aku lalui, sesudah lulus dari tempat tersebut. Kini sedang mencari pekerjaan, dari perusahaan-perusahaan, aku sudah melamar di beberapa tempat, namun gagal. Sempat hampir menyerah dan frustasi. Tiba-tiba ada pesan masuk dari perusahaan, aku dinyatakan diterima di perusahan yang terbilang cukup besar. Pada esok harinya aku berangkat ke kantor.
Tiba pada saat di kantor, aku berjalan dan lalu menaiki lift menuju lantai tiga. Lift tersebut terbuka lebar, terlihat ruangan yang bersih, di depannya terdapat pintu bertuliskan ruangan HRD. Ku buka pintu tersebut lalu bertemu HRD untuk penyerahan administrasi dan pemberitahuan penempatan dibagian mana aku bekerja. Ternyata aku di tempatkan sebagai sekretaris di perusahaan tersebut.
Sudah empat tahun aku lalui bekerja diperusahaan ini. Suka duka aku jalani, banyak sudah terbeli dengan hasil kerja keras ku. Seperti rumah yang tidak mengontrak lagi di tempat kumuh, kendaraan roda dua dan kebutuhan lainnya. Selepas pulang dari kantor, seperti biasa pulang jam 10.00 malam. Aku selalu merindukan orang tuaku di kampung, namun aku belum mendapat cuti dari perusahaan, walaupun seperti hari idul fitri maupun tanggal merah lainnya.
Ke esokan harinya aku memberanikan diri, lalu datang menghadap bosku.
“Assalamualaikum Pak Rudi” sembari membuka pintu
“Oh iya waalaikumsalam, silahkan duduk” ucap Pak Rudi dengan tangan memegang pulpen
“Sebelumnya mohon maaf pak, saya di sini bermaksud meminta izin untuk mengambil cuti pak”
“Sebentar ya, saya lihat jadwalnya dahulu” jawab pak Rudi membuka berkas ditangannya
“Baik Pak” ucap Dinda sembari mengnganggukan kepalanya
“Setelah saya lihat jadwalnya, kamu boleh ambil cuti besok. Mau berapa lama ambil cutinya Din?” tanya Pak Rudi
“Mungkin kalau boleh seminggu saja sudah cukup pak”
“Oh iya tidak apa-apa boleh, yang penting asal tidak menunda pekerjaannya”
“Baik Pak, terima kasih banyak” ucap Dinda yang tangannya menyalami tangan Pak Rudi
Selepas keluar dari ruangan Pak Rudi, aku Kembali ke tempat kerja, mencatat dan menghitung tingkatan hasil penjualan di komputer.
Kemudian jam pulang sudah tiba. Aku beranjak dari tempat kerjaku, sambil mengangkat tas kepundak. Sesampai di rumah, aku menyiapkan oleh-oleh yang dibeli selama perjalanan tadi. Lalu memasukannya kekoper, setelah semua sudah beres. Aku makan malam sendirian di rumah hasil kerja kerasku, setelah makan malam aku beranjak pergi ke kamar tidur. Rasanya aku hari ini sangat Lelah, aku baringkan tubuhku ini di Kasur. Mataku ini sudah dilanda rasa kantuk, aku tidak sadar, bahwa aku sudah tertidur.
Pukul 07.14. Cahaya terang masuk melalui celah-celah jendela kamarku, membuka mata kemudian pergi ke kamar mandi, tidak lupa juga aku mengambil handuk digantungan tepat disampingku ini. selepas mandi aku berdandan selayaknya perempuan utuh. Setelah semua sudah beres, aku membawa satu koper dan satu tas di punggungku, kemudian memasukannya ke mobil. Yang sudah aku pesan sebelumnya melalui smartphone yang aku punya.
Perjalanan yang aku jalani ini sangat melelahkan, jalan berkelok-kelok, sudah beberapa persimpangan yang ku lewati. Dan akhirnya sampai di depan rumah orang tuaku. Lantas aku mengetuk pintru rumah. “Tok Tok Tok Tok”
“Assalamualaikum Bu, ini Dinda. Dinda pulang Bu”
Setelah beberapa menit kemudian, orang yang di dalam rumah tersebut keluar.
“Waalaikumsalam Dek, nyari siapa Dek?” jawab lelaki muda, yang tampak asing melihat Dinda
“Oh ini pak, saya mau ketemu ibu saya. Apakah ada pak di dalam?”
“Kamu kalo boleh tau siapa Namanya dek?’’
“Saya Dinda Pak, Anaknya Ibu Fatimah”
“Ibu Fatimah ya.. Ibu Fatimah sudah meninggal sebulan yang lalu. Jadi rumah ini sudah dijual ke saya”
“…..” Hening terdiam, aku sekuat tenaga berusaha menahan tangis. Namun deras air mata jatuh keluar. Tangis tak bersuara.
“Innalillahi wainnailaihi rojiun. Sekarang kuburan ibu saya di mana pak?’’ pertanyaan dengan bibir gemetar di mulut Dinda
“Mungkin besok saja dek Dinda untuk melihatnya, sekarang sudah sangat malam. Nanti besok pagi saya antarkan” Tangan lelaki muda itu menggopong badan dinda yang sudah lemas dengan kabar tersebut masuk rumahnya.
Esok paginya aku terbangun, aku mandi dirumah yang pernahku disinggahi dulu, sekarang kamar mandinya sudah bagus, karena telah direnovasi. Aku sendiri telah rapi, tinggal menunggu lelaki muda tersebut yang bernama Saepudin, ia di rumah ini tinggal berasama istri dan anak perempuannya satu. Selepas pak Saepudin keluar dari kamarnya. Ia kemudian memanaskan motornya di halaman rumah.
“Ayo dek berangkat, saya antar” ucap Pak Saepudin
“Iya Pak” Jawab Dinda
Comments